Daftar Isi
Media sosial dirancang untuk membuat kita terus melihat. Algoritma menyajikan konten yang memicu rasa penasaran, emosi, dan perbandingan sosial. Kita melihat orang lain menikah, pindah kerja, punya anak, liburan ke tempat eksotis—dan mulai bertanya: “Aku kapan?”
Scroll tak berujung ini menciptakan ilusi bahwa semua orang sedang menjalani hidup yang lebih menarik. Padahal, yang kita lihat hanyalah highlight. Potongan-potongan terbaik yang dipilih dengan cermat. Kita membandingkan realita kita dengan versi editan orang lain, dan merasa kalah sebelum bertanding.
FOMO bisa memengaruhi kesehatan mental. Ia memicu stres, rasa tidak puas, dan bahkan depresi ringan. Kita merasa harus selalu aktif, selalu update, selalu hadir. Istirahat jadi terasa bersalah. Offline jadi terasa seperti menghilang.
Ironisnya, semakin kita mencoba “mengejar” yang hilang, semakin kita kehilangan momen nyata. Kita hadir di dunia digital, tapi absen dari kehidupan sehari-hari. Kita tahu kabar orang lain, tapi lupa merawat diri sendiri.
Melawan FOMO bukan berarti berhenti menggunakan media sosial. Tapi kita bisa mulai dengan menyadari pola scroll kita. Bertanya: “Kenapa aku membuka ini?” “Apa yang sedang kucari?” “Apakah ini membuatku merasa lebih baik atau lebih buruk?”
Menetapkan batas waktu, memilih konten yang sehat, dan memberi ruang untuk diam adalah langkah kecil yang berdampak besar. Kita tidak harus tahu segalanya. Kita tidak harus ikut semuanya. Kadang, yang kita butuhkan bukan lebih banyak informasi, tapi lebih banyak ketenangan.
FOMO adalah bayangan yang muncul dari cahaya kehidupan orang lain. Tapi kita punya pilihan untuk tidak hidup dalam bayangan itu. Dunia digital akan terus bergerak, tapi kita bisa memilih kapan berhenti, kapan hadir, dan kapan cukup. Karena hidup bukan tentang mengikuti semua hal—tapi tentang menemukan ruang di mana kita benar-benar merasa utuh.